Repost from August 23, 2012 by Gatot Widayanto.
Keterlibatan saya
dalam bidang yang belakangan ini biasa dikenal dengan sebutan Change
Management (manajemen perubahan) berawal dari karir awal saya sebagai
konsultan di PT Price Waterhouse Indonesia Konsultan di bulan Agustus
1994. Pada awalnya saya mendapat penugasan dari Managing Partner saya
saat itu, Kemal Stamboel, sebagai Lead Consultant pada proyek singkat
studi kelayakan. Atasan langsung saya, yang juga adalah pembimbing baik saya di
dunia konsultan manajemen, David Robertson, mempercayai saya sebagai Lead
Consultant, bertugas memimpin tim kecil terdiri dari tiga orang (termasuk
saya). Cukup gagap juga saya karena dua orang di dalam tim saya itu sudah
sangat senior dari segi pengalaman maupun usia dan masing-masing menguasai
bidangnya dengan baik yaitu sebagai Financial Modeling Specialist dan Technology
Specialist. Untungnya kedua orang tersebut ekspatriat yang humble
dan mudah untuk dikelola. Saya sendiri juga berperan sebagai Market Analyst.
Karena bidang studi kelayakan yang kami garap sebagai proyek saya pertama kali
tersebut bergerak di bidang komponen otomotif dan rekayasa, saya merasa sesuai
dengan bidang kuliah saya di Teknik Industri ITB.
Pada penugasan
singkat tersebut sebenarnya tak ada yang spesifik menyangkut topik manajemen
perubahan karena memang tujuan penugasan adalah menilai apakah suatu usulan
usaha dari sebuah kelompok usaha besar yang sedang ekspansi saat itu bisa
dikatakan layak untuk pendanaan atau tidak. Namun setidaknya saya belajar
banyak hal yang pada akhirnya merupakan komponen penting dalam apa yang
kemudian terkenal dengan sebutan manajemen perubahan. CEO (Chief Executive
Officer) dari kelompok usaha tersebut bisa dikatakan visioner karena ia
bercita-cita membuat usaha terpadu mulai dari biji besi hingga produk final,
seperti komponen otomotif, bahkan suatu hari salah satu produknya adalah mobil.
Pemikiran terpadu seperti ini, diungkapkan dengan tutur kata artikulatif,
membuat pembelajaran tersendiri bagi saya akan peran kunci sebuah visi. Visi
juga yang akhirnya menjadi hal pokok dalam transformasi bisnis. Bisa dikatakan,
itulah pertama kali saya “merasakan” makna signifikan sebuah visi untuk
memberikan ruh hingga sebuah usaha berdenyut dalam upaya meraihnya.
Penugasan-penugasan
saya selanjutnya secara kategori dalam bidang konsultan termasuk dalam ranah business
strategy, namun realitanya saya menjumpai banyak isu-isu terkait manajemen
perubahan selama implementasi dari strategi. Dalam suatu penugasan saya
dihadapkan kepada proses transformasi sebuah perusahaan menghadapi semakin
tajamnya persaingan bisnis yang dihadapi. Seperti biasa, pendekatan dan metodologi
yang kami gunakan saat itu mulai dari analisis kondisi saat ini (As-Is
Analysis) kemudian disertai serangkaian lokakarya dengan klien tentang
kondisi yang akan datang atau biasa disebut dengan To-Be. Dari situ
kemudian dipetakan proses bisnis yang baru disertai dengan implementasi.
Akhirnya, saat implementasi tersebutlah saya belajar bahwa banyak isu terkait
manajemen perubahan yang menjadi pertimbangan utama sebelum sebuah konsep
bisnis dalam bentuk proses bisnis baru dan prosedur operasi baku akan diterapkan.
Dari serangkaian
penugasan tersebut, semakin jauh terlibat dalam kegiatan konsultansi dengan
klien, saya semakin menyadari bahwa menyiapkan orang terlebih dahulu jauh lebih
penting dari pada sekedar menjalankan sebuah konsep bisnis yang luar biasa
bagusnya (robust). Bisa dikatakan, sebagus apapun sebuah konsep bisnis
tak akan bisa dijalankan bila orang-orang di dalam organisasi atau perusahaan
tersebut tak memahami sepenuhnya buat apa sebuah konsep perlu dilakukan.
Sebagian besar orang sudah merasa bahwa yang selama ini dikerjakan, meski belum
sempurna, sudah dianggap terbaik. Dasar
mengatakan hal ini bisa berlandaskan akal sehat maupun emosi. Dalam hal dasar
akal sehat sebagian besar mengatakan bahwa dengan cara kerja yang berlaku
buktinya perusahaan tumbuh secara mantab sekitar 20% tiap tahun. Laba bersih
pun tahun lalu meningkat sekian persen. Dalam hal ini orang menilai dari hasil
kinerja perusahaan dalam hal finansial. Dalam hal emosi sebagian besar orang
mengatakan bahwa yang dilakukan saat ini sudah dikerjakan dengan baik dan
merasa nyaman dengan cara ini, mengapa musti berubah?
Sejak itu saya tak pernah menganggap remeh dengan
apa yang dikatakan sebagai manajemen perubahan. Di setiap penugasan yang saya
jalani selalu saja dijumpai isu-isu terkait manajemen perubahan. Hal ini bisa
saya pahami karena setiap penugasan saya selalu terkait dengan perubahan
tertentu, baik itu perubahan proses dan metode kerja, restrukturisasi
organisasi, pembukaan pasar baru, peluncuran produk baru, penataan sistem
manajemen SDM, maupun cara pelayanan baru. Semakin saya mendalami bidang
pekerjaan saya sebagai konsultan semakin banyak saya jumpai hal-hal pokok dan
pembelajaran terhadap manajemen perubahan terutama dalam menghadapi orang
dengan karakter dan sikap yang berbeda. Pengalaman saya sebelumnya selama
sepuluh tahun lebih dalam industri jasa konstruksi anjungan lepas pantai di
bidang migas sangat membantu saya dalam melihat masalah dalam kacamata praktis
dan bukan berbicara lagi dalam ranah wacana. Ini yang membuat saya tertantang
untuk menjiwai lebih dalam pekerjaan saya sebagai konsultan yang ternyata
sangat saya nikmati hingga kini. Meski saya sempat kemudian kembali menjadi
praktisi selama lima tahun di Citibank, namun sifat pekerjaan saya di bidang
implementasi Six Sigma tetap ada nuansa consulting nya juga.
Do Not
Change! FACILITATE. Mengapa?
Banyak sekali
perubahan yang gagal bahkan lebih banyak perubahan yang gagal dibandingkan yang
berhasil. Mengapa? Dari pengalaman saya, bila disuruh mengatakan satu hal yang
membuat sebuah perubahan berhasil maka jawaban saya sederhana dan tegas,
terdiri dari satu kata saja: keterlibatan. Ya! Jangan harapkan
perubahan berlangsung langgeng bila tak memperhatikan keterlibatan orang
dalam perencanaan maupun implementasi. Aspek keterlibatan tidak hanya
penting namun sangat penting dan merupakan ruh yang menjiwai setiap perubahan
yang terjadi. Bila ada suatu perubahan dipaksakan oleh pimpinan, mungkin akan
terjadi namun tak akan berlangsung langgeng. Saya sudah banyak melihat hal ini.
Ada tiga alasan mengapa saya pilih judul ini.
Pertama, melalui buku ini saya ingin menekankan
bahwa mempertimbangkan pentingnya keterlibatan dalam setiap perubahan dalam
ukuran besar maupun kecil, cara penanganan paling efektif adalah dengan menggunakan
pendekatan fasilitatif. Sebuah perubahan bisa dikatakan berhasil bila ia
berjalan langgeng karena orang yang menjalankan perubahan merasakan benar
manfaat dari perubahan tersebut sehingga ia perlu mempertahankannya terus
menerus. Iapun melakukannya dengan senang hati karena ia merasa memiliki
perubahan tersebut. Bila sebuah perubahan terjadi karena instruksi alias adanya
“keharusan” melakukannya maka ia hanya berlaku sementara saja. Contoh paling
mudah dalam kehidupan sehari-hari adalah penggunaan helm pada saat mengendarai
sepeda motor. Pada awalnya peraturan ini, banyak pengendara sepeda motor
menganggapnya sebagai peraturan yang dibuat oleh polisi. Namun dengan
berjalannya waktu dan semakin banyaknya dijumpai kecelakaan yang menyebabkan
cedera serius karena tak menggunakan helm dan program sosialisasi yang
dilakukan pada akhirnya orang menyadari pentingnya menggunakan helm saat
mengendarai sepeda motor. Seorang pelaku perubahan yang merupakan inisiator
terhadap perubahan baru akan efektif bekerjanya bila menggunakan pendekatan
fasilitatif yang tak menggurui dan menganggap orang lain bodoh. Demikian halnya
atasan juga harus berperilaku fasilitatif bila ingin anak buahnya menjalankan
perubahan. Ini tentu memerlukan sikap fasilitatif dari seorang pemimpin yang
transformasional.
Sebuah jari yang dimasukkan ke dalam gelas berisi
air kemudian digerak-gerakkan sehingga air di dalam gelas bergejolak dan bila
jari diangkat maka air kembali tenang memberikan gambaran metafora kepemimpinan
tangan besi. Dalam hal ini karyawan baru menunjukkan kegiatannya ketika boss
nya ada di sekitar mereka. Begitu boss nya pergi, mereka kembali tenang tak
bekerja lagi. Sekarang kita bayangkan air di dalam sebuah mangkok yang
dipanaskan lama kelamaan akan mulai timbul gelembung dan akhirnya saat mendidih
air bergolak terus menerus. Ini ibarat sebuah perusahaan yang kegiatannya
menjadi aktif terus menerus karena merespons terhadap perubahan lingkungan,
kompetisi yang semakin ketat, misalnya. Padahal, di dalam air tersebut tak ada
yang menggoyang-goyangkan seperti halnya jari seperti kondisi di atas. Tanpa
ada campur tangan langsung seorang boss (jari-jari) toh air di dalam mangkok
yang dipanaskan tetap selalu bergolak.
Alasan kedua, saya ingin fokus di area dimana saya
menguasai dengan baik, yaitu memfasilitasi terjadinya perubahan karena
sepanjang pengalaman saya di area manajemen perubahan, sebagian besar saya
berperan sebagai fasilitator perubahan bukan sebagai yang ‘menjalankan’
perubahan. Pengecualian dalam hal ini adalah saat saya berkarir di Citibank
Global Consumer Banking, saya juga memerankan pelaku perubahan sekaligus
memfasilitasi orang lain untuk berubah. Saat itu bidang yang saya kerjakan
adalah Six Sigma. Selebihnya saya lebih banyak berkecimpung dalam area
memfasilitasi perubahan. Orang bijak mengatakan bahwa sebaiknya memulai sesuatu
dari bidang yang kita kuasai. Untuk itu saya merasa percaya diri membahas Facilitate
Change (memfasilitasi perubahan). Hal ini membantu saya agar fokus,
meskipun di beberapa bagian akan dikupas hal lain yang terkait sebagai
penjelasan lebih lanjut.
Ketiga, dengan menggunakan judul Don’t
Change! FACILITATE saya juga merasa nyaman karena ini merupakan
kalimat tindakan (action words) yang bersifat aktif daripada Manajemen
Perubahan yang bersifat pasif dan sangat luas pula cakupannya. Tentu saja judul
ini juga direncanakan sebagai faktor pembeda (differentiator) sehingga Anda
tertarik membeli buku ini. Buktinya, buku ini berada di tangan Anda saat ini.
Bila Anda berselancar dengan google mencari kata ‘change management’
maka Anda akan jumpai seratus sembilan juta (109.000.000) temuan karena begitu
luasnya ilmu manajemen perubahan. Makna bagi pembaca sekaligus bisa menyikapi
bagaimana ia berperan aktif dalam program perubahan di perusahaan atau organisasi
dimana ia bekerja. Memfasilitasi perubahan bukan merupakan domain konsultan
atau Facilitator namun juga perlu dipahami setiap orang yang bekerja agar ia
juga ikut aktif berperan sebagai “pelaku” bukan “penonton” atau “korban” dari
perubahan. Memahami dan belajar ketrampilan memfasilitasi (facilitation
skills) jauh lebih bermakna daripada seorang pelatih (trainer)
bidang tertentu. Menjadi facilitator lebih sulit daripada menjadi trainer
karena lebih mengutamakan proses komunikasi dua-arah yang interaktif dan
dinamis.
Mengapa topik ini penting sehingga perlu
sebuah buku?
Ada dua hal mengapa menurut saya buku ini perlu
(baca: “harus”) diterbitkan dan menjadi referensi. Pertama, perubahan sudah
menjadi bagian integral dari kehidupan baik itu dalam konteks perusahaan,
institusi maupun organisasi namun juga pada individu. Tak ada satupun
perusahaan atau organisasi ataupun produk / jasa yang kebal terhadap perubahan
baik itu skala besar maupun kecil. Masih ingat produk-produk seperti telex,
telegram, mesin ketik, pager, film Polaroid? Mungkin sebagian orang masih
menggunakan, misalnya seperti mesin ketik, namun pemanfaatannya sangat terbatas
sekali karena kemajuan teknologi. Masih banyak contoh produk-produk yang
akhirnya usang dimakan jaman. Bahkan dari segi brand (merek) pun sudah
banyak perubahan. Saya pernah bekerja di PT Metrodata yang saat itu mengageni WANG
Computer yang pada jamannya sangat tangguh, namun sekarang sudah tak
terdengar lagi merek tersebut. Artinya, suka atau tidak kita secara faktual sudah
dihadapi dengan perubahan itu sendiri. Pada konteks individu, gaya hidup kita
sudah berubah drastis dua dekade ini terutama satu dekade terakhir ini. Dulu komunikasi seluler dilakukan melalui
kotak seukuran tas koper kecil. Masih ingat saya di tahun 1990 saat bekerja di
perusahaan konstruksi yang beroperasi di Grenyang, sekitar Anyer. Komunikasi dengan kantor pusat menggunakan
hanya satu unit telepon seluler yang berukuran tas koper kecil tersebut. Tak
terbayangkan saat itu bila setiap orang memerlukan ponsel. Perkembangan sepuluh
tahun kemudian cukup menakjubkan karena banyak sekali orang yang menggunakan
ponsel. Dekade terakhir ini justru banyak orang yang memiliki lebih dari satu
ponsel. Itupun masih terus tumbuh karena penetrasi penggunaan telpon di Indonesia
hanya berkisar pada angka …..
Alasan kedua, kita perlu menyikapi setiap
perubahan yang terjadi dengan bijak, menggunakan segenap kemampuan dan
pengetahuan kita. Tak ada pilihan lain selain mengambil sikap. Lihat saja, dulu
saya tak menganggap perlu memiliki ponsel, namun pada suatu titik akhirnya saya
memiliki juga karena adanya kebutuhan. Ini juga perlu sikap karena menonton
perubahan teknologi yang terjadi menyebabkan kita hanya bertindak pasif dan
akhirnya malah menjadi korban. Coba bayangkan kalau saya masih bersikap tak mau
memiliki ponsel – maka betapa sulitnya membuat janji bertemu di suatu mall
tanpa titik temu yang presisi. Bisa jadi saya kehilangan banyak bisnis karena
tak bisa mengelola waktu dengan baik. Sikap yang harus kita ambil adalah
mencoba mendapatkan manfaat paling tepat untuk kemajuan kita dengan
memfasilitasi perubahan. Dalam hal ponsel tadi, fasilitasi yang perlu saya
lakukan tentunya sesuai dengan kebutuhan pokok saya utuk selalu mutakhir
terhadap perkembangan yang terjadi terkait dengan bisnis atau pekerjaan saya.
Contohnya, saya harus memiliki kebiasaan baru mengatur dering ponsel pada saat
harus dimatikan atau dibuat sunyi, misalnya pada saat rapat atau di masjid.
Kebiasan-kebiasan baru ini tadinya tak perlu ada saat saya belum memiliki
ponsel. Kemudian, saya harus rajin cek ponsel untuk mengetahui bila ada SMS
penting yang masuk.
Dengan dua alasan tersebut sudah jelas begitu
pentingnya menguasai ilmu memfasilitasi perubahan agar kita menjadi lebih
efektif dalam bekerja dan menjalani kehidupan ini.
Untuk siapa buku ini?
Target utama penyusunan buku ini adalah setiap
orang yang terlibat atau bekerja di perusahaan atau institusi pemerintah yang
terlibat dengan perubahan. Ketika saya berbicara tentang perubahan, jangan
langsung berpikir bahwa saya berbicara tentang transformasi bisnis menyeluruh
dan fundamental melibatkan semua unit yang ada di sebuah perusahaan atau
organisasi. Saya berbicara mengenai perubahan ini bahkan mencakup perubahan hal
yang kecil sekalipun, misalnya bagaimana menangani pengiriman barang ke
pelanggan yang alamatnya telah pindah. Jangan sepelekan hal yang sepertinya
kecil ini. Coba bayangkan bila Anda merupakan bagian dari perusahaan yang
berkecimpung di dalam usaha yang melayani pesan antar (delivery order).
Seorang karyawan yang telah diberi tahu perpindahan alamat harus segera
memberikan informasi tersebut kepada bagian yang bertanggung-jawab dalam
memutakhirkan database pelanggan. Tak hanya itu saja, perpindahan alamat
berdampak kepada beban penugasan staff yang menangani area dimana alamat
pelanggan yang baru berlokasi.; belum tentu beban kerjanya masih memungkinkan
menangani pengiriman tepat waktu. Hal ini bisa berdampak kepada alokasi sumber
daya. Singkat kata, sebuah perubahan kecil bisa menjadi masalah besar bila tak
ditangani dengan baik, melibatkan beberapa unit terkait.
Kalau di dunia perbankan, perubahan alamat bukan
hal yang sepele karena ini menyangkut data pelaporan keuangan nasabah yang
dikirim setiap bulan. Bagaimana kalau laporan bulanan dikirim ke alamat yang
salah? Hal ini bisa menyebabkan masalah besar. Bahkan ada sebuah bank asing
yang membentuk satu unit kerja khusus yang menangani perubahan alamat. Prosedur
perubahan alamat pun harus dibuat dengan teliti karena yang berhak mengajukan perubahan
alamat adalah nasabahnya sendiri dan tak boleh diwakilkan ke orang lain,
meskipun itu keluarganya sendiri.
Sebuah perubahan berskala besar memerlukan
perubahan pola pikir dan perilaku dari setiap individu yang ada di perusahaan
tersebut mulai dari tukang pembersih sampai ke Direktur Utama atau CEO.
Perubahan seperti ini biasanya membutuhkan waktu yang cukup lama, bisa antara
dua hingga lima tahun, bahkan bisa lebih dari lima tahun. Dalam hal ini
sebenarnya yang sedang terjadi adalah transformasi bisnis dengan melalui
perubahan mendasar dalam budaya kerja perusahaan mencapai tujuan baru yang
lebih menantang.
Dari pemaparan di atas Anda bisa bayangkan betapa
yang namanya perubahan itu sudah merupakan hal yang selalu saja terjadi selama
sebuah perusahaan beroperasi. Coba sebutkan satu saja contoh perusahaan atau
organisasi yang tak mengalami perubahan baik dari faktor eksternal maupun
internalnya. Mustahil bisa ditemukan perusahaan atau organisasi yang seperti
ini karena dunia yang selalu berubah, tuntutan pelanggan yang selalu
meningkat, tekanan persaingan yang semakin ketat. Artinya, setiap individu yang
berada di dalam sebuah organisasi selalu mengalami perubahan. Sekarang tinggal
bagaimana si individu ini menyikapinya, mau jadi korban atau pelaku perubahan.
Bila Anda hanya menjadi penonton, berarti Anda akan menjadi korban dari
perubahan dan Anda tak perlu baca buku ini karena buku ini bukan untuk pengamat
atau penonton tapi untuk pelaku.
Ada tiga kategori pelaku perubahan:
- pelaku yang menjalankan perubahan (doer),
- pelaku yang memfasilitasi perubahan (facilitator) , dan
- pelaku yang menjalankan dan sekaligus memfasilitasi perubahan. Kategori yang terakhir ini kemudian biasa disebut sebagai change agent (agen perubahan).
Pelaku perubahan yang hanya memfasilitasi tanpa
menjalankan perubahan biasanya disebut sebagai Konsultan Independen yang
direkrut untuk membantu sebuah perusahaan menjalankan perubahan. Konsultan
Independen bisa berupa perusahaan atau individu yang direkrut khusus untuk
menjadi fasilitator dalam sebuah program transformasi.
Jadi jelas bahwa target pembaca buku ini adalah
setiap individu di dalam organisasi maupun juga konsultan independen baik itu
perorangan maupun mereka yang bekerja pada sebuah perusahaan konsultan. Saya
pernah mengalami semua dari tiga kategori tersebut meskipun paling banyak saya
berperan sebagai Fasilitator, yaitu konsultan independen baik sebagai individu
maupun sebagai wakil dari perusahaan konsultan. Tentu saja saya mentargetkan
buku ini dibaca oleh setiap orang yang bekerja di dalam sebuah perusahaan
maupun institusi pemerintahan.
Alur Pikir
Buku ini saya harapkan bisa memberikan pencerahan
bagi mereka yang ingin mengetahui lebih jauh tentang manajemen perubahan dan
bagaimana berkontribusi langsung dengan jalan memfasilitasi terjadinya
perubahan. Untuk itu perlu adanya konsep yang jelas tentang pemahaman substansi
dari perubahan dan bagaimana setiap halaman dari buku yang Anda baca ini bisa
melibatkan seolah-olah Anda berada di dalamnya, sebagai pelaku dari perubahan.
Meskipun sebagian besar isi buku ini didasari pengalaman nyata saya dalam
bidang ini, baik dalam mengelola program dan proyek, memfasilitasi manajemen
perubahan maupun sebagai adviser dalam bidang manajemen perubahan, buku ini
juga mengulas beberapa teori yang dikembangkan berdasarkan riset oleh pakar
manajemen perubahan.
Hal utama yang perlu disadari adalah pemahaman
mengenai alasan untuk berubah dan hal ini diuraikan di Bab 1 dari buku ini.
Pemahaman dan penguasaan mengenai alasan untuk berubah sangat fundamental dalam
mengawal sebuah perubahan yang berhasil. Bila alasan untuk berubah tak jelas dan lemah, bisa dipastikan akan gagal.
Perubahan dengan tujuan sekedar lebih baikpun kurang kuat dan pasti gagal. Bila alasan kuat maka kita bisa mengukur
apakah perubahan kita berhasil atau tidak. Kriteria berhasil di sini tak
sekedar hasil yang diharapkan tercapai namun juga harus langgeng dan bisa
berkembang lebih baik lagi.
Bab 2 membahas tentang faktor-faktor pemicu
perubahan. Bila diuraikan
panjang lebar, tentu banyak sekali faktor pemicu perubahan. Namun, untuk
kesederhanaan dan kepraktisan akan dikategorikan menjadi dua hal besar yaitu
pemicu eksternal dan internal. Hal penting yang saya sajikan di bab ini adalah
penggunaan kerangka strategi bisnis dari Michael Porter yang biasa
dikenal dengan Five Forces model dan juga kerangka Six Levers of
Change yang saya pelajari selama karir saya di Price Waterhouse dan masih
relevan hingga hari ini. Tak kalah pentingnya adalah bagaimana kita sebagai
pelaku perubahan bisa beperan secara efektif di dalam tahap ini.
Bab 3 sudah masuk ke dalam ranah perubahan, yaitu Merencanakan
Perubahan. Di dalam bab ini substansi tentang manajemen perubahan sudah
langsung saya bahas secara lugas karena di sinilah pada dasarnya arena pertempuran
kita, yakni membuat perencanaan yang matang dan praktis. Faktor kepraktisan ini
sangat kunci karena percuma saja kita membuat sebuah perencanaan yang terlalu
canggih namun tak dimengerti orang lain, akhirnya perubahan menjadi kandas
sebelum hasil akhir diperoleh.
Bagian terpenting dalam merencanakan perubahan
adalah menyusun strategi perubahan yang dibahas di dalam bab selanjutnya, Bab
4. Mengapa dibahas di dalam bab terpisah? Karena strategi perubahan sangat
penting dan perlu kajian khusus sehingga pembaca bisa memahami dan menguasai
esensinya dengan baik. Selain substansinya yang penting, hal lain yang sangat
kritikal dalam strategi perubahan adalah proses penyusunannya paling efektif
bila melibatkan orang lain sehingga pelaksanaannya bisa lebih lancar.
Bab 5 mengulas tentang menjalankan atau
implementasi dari rencana manajemen perubahan yang telah disusun. Hal
terpenting dalam implementasi adalah memahami sepenuhnya dinamika organisasi
hingga pada level individu karena memfasilitasi perubahan berfokus kepada
individu.
Bab 6 membahas tentang resistensi terhadap
perubahan dan beberapa pendekatan untuk mitigasinya. Mengatasi resistensi ini
merupakan hal yang sering dijumpai dalam implementasi perubahan yang sudah
dicanangkan.
Bab 7 membahas tentang bagaimana menindak-lanjuti
rencana tindakan secara efektif sehingga bisa dicapai manfaat sesuai target.
Saya tekankan peran coaching yang penting dan sentral dalam mengawal
proses perubahan individu yang efektif.
Bab 8 membahas tentang monitoring dan evaluasi
terhadap rencana tindakan yang telah dijalankan.
Bab 9. Satu hal yang perlu saya tekankan di sini
adalah bahwa menjalankan sebuah program perubahan sepertinya selalu mudah pada
tahap perencanaan dan perumusan namun pada saat implementasi banyak sekali hal
tak terduga yang dialami sehingga kita seakan lupa bahwa pada awalnya kita
punya rencana. Bila hal ini Anda jumpai, jangan segera melupakan rencana
yang telah dibuat. Justru ini merupakan pembelajaran terbaik dalam menjalani
sebuah perubahan. Untuk itu saya mendedikasikan bab 9 untuk secara khusus
membahas bagaimana menyikapi usangnya rencana baik yang telah disusun. Saya
banyak menjumpai justru orang cenderung melupakan rencana yang dulu disusun
dengan seksama sambil mengatakan “Ah itu kan
di atas kertas….. Pada prakteknya kita harus banyak kompromi.” Bila hal ini
disertai tindakan melupakan rencana awal, justru di situlah bibit kegagalan
program perubahan sudah mulai teridentifikasi.
Selamat melanjutkan
perjalanan mengarungi pemahaman dan penguasaan dalam hal memfasilitasi
perubahan ….
Komentar
Posting Komentar