Repost dari makalah online "Jangan takut pada perubahan. Kamu mungkin kehilangan sesuatu yang bagus, tapi akan mendapatkan yang lebih bagus.” --entah siapa
Keraguan semacam itu bukan hanya menghinggapi orang per orang. Lantaran sudah nyaman berada dalam satu keadaan, merasa telah mapan, organisasi pun biasanya enggan untuk mencoba sesuatu yang baru. Apa lagi bila membayangkan besarnya skala perubahan, yang menyangkut banyak segi, melibatkan banyak bagian dalam organisasi, dan diperlukan pengerahan sumber daya yang tidak sedikit, baik itu manusia, waktu, dana, maupun energi. Mungkin saja ada yang membayangkan melakukan perubahan itu tak ubahnya memasuki hutan belantara dan kita tidak mengetahui pasti apakah kita akan sampai ke tempat tujuan.
Lazimnya, keraguan semacam itu muncul karena ketidaktahuan mengenai apa yang harus dilakukan, tidak mengerti dari mana perubahan mesti memulai, jalan mana yang harus ditempuh, dan boleh jadi karena tidak memahami apa tujuan yang harus dicapai. Besarnya tantangan perubahan mendorong sebagian perusahaan untuk mengambil jalan bertahap untuk menghindari guncangan yang mungkin sukar diatasi, yang dapat mengganggu aktivitas bisnis sehari-hari
Yang kerap dilupakan, di balik kesukaran tersebut, proses transformasi ini sesungguhnya menawarkan manfaat, pengalaman yang sangat berarti, serta peluang yang menarik untuk meningkatkan kualitas kinerja, bukan hanya bagi perusahaan sebagai organisasi, melainkan juga bagi individu-individu di dalamnya—para karyawan, manajer, jajaran direksi, maupun komisaris dan komite audit. Organisasi pembelajar akan cenderung memandang tantangan perubahan sebagai peluang untuk meningkatkan kematangan organisasi yang kelak bermanfaat untuk menghadapi tantangan di kemudian hari.
Menghadapi situasi seperti itu, nasihatnya satu saja: “Jangan cemaskan besarnya skala perubahan!” Dengan mengetahui ke arah mana organisasi hendak dibawa, proses menuju tujuan dapat dibagi ke dalam beberapa fase. Skala perubahan yang besar dapat diurai menjadi skala-skala yang lebih kecil, sehingga proses perubahan lebih mungkin untuk dikelola dengan baik melalui tahapan-tahapan yang jelas dan terukur. Masing-masing tahapan dilengkapi dengan sasaran-sasaran yang harus dicapai dalam rentang waktu yang disepakati.
Jadi, agar tidak tersesat jalan saat melakukan perubahan, buatlah peta-jalan (roadmap)!
Masa transisi adalah yang paling krusial. Agar perusahaan sukses melewati masa transisi, proyek perubahan harus direncanakan dengan baik. Secara garis besar, peta-jalan dapat dibagi ke dalam sejumlah fase: fase assessment, fase design, fase implementation, dan fase sustain. Aktivitas yang dijalankan di dalam setiap fase dapat disesuaikan bergantung kepada kondisi perusahaan masing-masing dengan mempertimbangkan berbagai segi, termasuk ukuran perusahaan dan sektor industrinya.
Agar berhasil, proyek perubahan harus dipandang dalam konteks bisnis secara keseluruhan. Setiap fase adopsi harus dijaga agar tetap berada di jalur yang sudah direncanakan dan berjalan dalam rentang waktu yang sudah ditetapkan. Mengelola isu yang berusaha membelokkan jalannya perubahan merupakan tantangan tersendiri yang lazim ditemui dalam setiap inisiatif perubahan.
Komunikasi yang intensif dan berkelanjutan merupakan cara untuk menghindari keterkejutan pihak-pihak yang terkena dampak adopsi, dan ini mesti dimulai sejak dini—komunikasi ke seluruh bagian organisasi tidak boleh dilakukan di tengah jalan. Kejelasan pembagian tugas dalam setiap fase sangat diperlukan untuk menghindari sikap lempar tanggung jawab apabila terjadi kesalahan atau keterlambatan.
Dalam setiap proyek perubahan, pertanyaan krusialnya ialah ‘Dari mana kita memulai?’ Metoda yang tepat ialah memulai dari tujuan yang ingin dicapai dari proyek perubahan.
Jean Monnet, mantan banker yang banyak berjasa dalam pembentukan Uni Eropa, memilah perencanaan proyek dari pelaksanaan proyek. Perencanaan dimulai dari titik tujuan atau final milestone, dan bergerak tonggak demi tonggak menuju permulaan. Pelaksanaan atau eksekusi mengikuti jalur normal, dari permulaan menuju akhir, tonggak demi tonggak. Metoda ini dirancang agar penentuan anggaran maupun kebutuhan sumber daya lainnya, termasuk manusia dan teknologi, dapat terpenuhi dengan semestinya.
Seringkali, manajer tidak mampu menentukan kebutuhan sumber daya secara tepat karena memulai perencanaan dari permulaan, sehingga lingkup proyek keliru didefinisikan, kekurangan orang dengan keterampilan yang dibutuhkan, teknologi yang dipilih di bawah standar, tahapan proyek dikelola secara buruk, para manajer mengabaikan best practices dan lessons learned, para pengguna resisten untuk berubah, dan manajemen puncak kehilangan wawasan. Dari pengalaman banyak perusahaan, lazimnya fase perubahan mencakup 4 tahap.
Fase Assessment: merupakan fase yang menentukan dari proses pengambilan keputusan strategis. Di fase inilah perusahaan mengkuantifikasi dampak perubahan terhadap keseluruhan perusahaan. Organisasi harus memiliki pemahaman rinci mengenai perbedaan-perbedaan antara sebelum dan setelah perubahan, serta dampak dan risiko dari perbedaan-perbedaan ini.
Fase Design: Fase ini terkait dengan upaya memobilisasi organisasi untuk menutup kesenjangan yang sudah diidentifikasi dalam fase assessment. Desain perubahan disiapkan, opsi-opsi disediakan, dan alternatif aplikasi ditimbang-timbang. Di fase inilah, keputusan mengenai pengembangan solusi tertentu harus dibuat.
Fase Implementation: Selama fase implementasi, seluruh rancangan yang sudah dibuat pada fase design akan menjalani pengujian dan implementasi.
Fase Sustain: Setelah fase implementasi selesai, bukan berarti pekerjaan sudah berakhir. Sangat penting untuk dicermati apakah perubahan-perubahan yang telah dibakukan dapat berjalan dengan baik. Dalam fase inilah stabilisasi proses-proses baru, prosedur baru, dan sistem baru berlangsung dan harus dipastikan berjalan sesuai dengan rencana. Dalam fase inilah, perusahaan mulai dapat memetik pengalaman baru dan melihat hasil perubahan. ***
Komentar
Posting Komentar